Senin, 26 November 2007

artikel : Sampah Minggu Pagi

SAMPAH MINGGU PAGI

Oleh: Fahdi Faaz

Mahasiswa Arsitektur UGM, Sekjend Future Leaders Party

(tulisan dimuat di artikel Keliling Kota Kompas Yogyakarta edisi Rabu 10 Oktober 2007)

Apa yang bisa kita lihat setelah Sunday Morning di UGM? Ataupun setelah perayaan sekaten? Ataupun setelah acara nonton bareng? Ya. Sampah. Ratusan bahkan ribuan sampah bertebaran di semua sudut. Di jalan, tepi jalan, di trotoar, di bangku, bahkan di pot tanaman (mungkin ini tempat favorit). Masalah sampah ini dari dulu sudah menjadi tradisi dan susah dihilangkan. Kebiasaan masyarakat pada umumnya untuk menikmati hibura sambil nyemil makanan tingan memang tidak salah. Namun yang menjadi masalah adalah sampah dari bungkus makanan itu.

Di Boulevard UGM pada Sunday Morning misalnya. Ratusan sampai ribuan orang berkumpul untuk menikmati pasar setengah hari yang dibuka untuk umum. Puluhan pedagang, baik makanan, pernak-pernik, hiasan, pakaian, maupun mainan berjajar mulai dari depan pintu timur gelanggang mahasiswa sampai pintu keluar ke arah lembah di sebelah utara masjid kampus. Suasana yang menyenangkan memang, ketika itu hampir semua orang yang datang, berjalan kaki. Hanya beberapa orang yang nekad menaiki kendaraannya di tengah kerumunan itu. Suasana yang sudah sangat jarang dijumpai di kota ini.

Namun jika waktu mulai beranjak siang, dan pengunjung mulai berkurang, akan kita dapati pemandangan yang menyedihkan. Sampah bertebaran di mana-mana. Baik itu berupa sampah plastik, kertas, bahkan beberapa sisa makanan. Suasana lingkungan kampus yang bersih menjadi kotor. Seperti halnya dengan perayaan sekaten beberapa waktu yang lalu. Di kanan kiri jalan, bahkan di tengah alun-alun pun dijumpai banyak sampah.

Siapa yang harus disalahkan? Pengguna? Jelas. Pemerintah / pengelola? Juga bertanggung jawab. Pengguna dalam hal ini masyarakat yang memiliki andil sangat besar. Kebiasaan untuk tidak membuang sampah di sembarang tempat masih belum menjadi tradisi. Mungkin banyak yang beranggapan bahwa ketika kita membuang sampah di sembarang tempat, berarti mereka memberi pekerjaan bagi pegawai kebersihan. pendapat ini tidak dapat dibenarkan. Ya kalau sempat dibersihkan. Kalau belum sempat dibersihkan dan tiba-tiba hujan deras mengguyur, sampah-sampah itu terakumulasi di saluran air dan hasilnya, banjir.

Pemerintah maupun pengelola, juga harus ikut bertanggung jawab dalam masalah sampah ini. Bukan hanya dalam mengelola sampah yang sudah ada, tetapi bagaimana cara agar masyarakat tidak membuang sampah di sembarang tempat. Di kampanye membuang sampah kering dan sampah basah memang sudah digalakan. Masalahnya, tempat sampah itu malah ditempatkan di tempat dimana orang jarang berlalu lalang ataupun berkumpul. Sedangka di tempat public, dimana orag banyak berkumpul, justru tidak ada tempat sampah.

Di sepanjang boulevard UGM misalnya. Di area sepanjang dan seluas itu, tidak dijumpai ada tempat sampah di pinggir jalan. Walhasil, ketika ada orang yang makan kemudian bingung mencari tempat sampah, dan tidak menemukan temat sampah, boleh jadi sampahnya langsung dibuang di tempat. Berlaku pula di alun-alun, baik utara maupun selatan.

Bagaimana solusinya? Yang pertama kesadaran untuk membuang sampah di tempat sampah harus menjadi tradisi. Tradisi yang baik, yang jika kita melanggarnya, dampaknya dirasakan kita semua. Yang kedua, pemerintah dan pengelola lebih kritis dan tegas. Baik dalam penyedian tempat sampah maupun dalam menangani pelanggar hukum yang membuang sampah sembarangan. Dalam penyediaan tempat sampah, mungkin kita bisa mengambil contoh dari negri seberang. Di halaman St Vitus Cathedral di Praha, merupakan salah satu ruang publik kota Praha. Di lantainya, setiap radius sekian meter, tedapat lubang yang ditutup kisi-kisi besi yang digunakan sebagai tempat sampah. Karena di bawah muka tanah, tempat sampah ini tidak memakan banyak tempat. Tidak seperti tempat samapah konvensional yang diletakan di atas tanah. Mungkin sistem ini cocok untuk masyarakat kita yang masih sering membuang sampah langsung ke bawah. Dalam penegakan kebiasaan, kita dapat bercermin dari Singapura yang disebut Fine City. Fine diartikan sebagai denda. Bahkan meludah sembarangan pun bisa kena denda. Apalagi membuang sampah.

Tidak ada komentar: