Senin, 26 November 2007

artikel : "Ubin Kuning" Malioboro & Kotabaru

”UBIN KUNING” MALIOBORO & KOTABARU

Oleh: Fahdi Faaz

Pemerhati Arsitektur Kota, Mahasiswa Arsitektur Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sekjend Future Leaders Party

(tulisan dimuat di rubrik Keliling Kota harian Kompas Yogyakarta edisi 21 November 2007)

Pernahkah kita memperhatikan pola perkerasan di trotoar sepanjang Malioboro? Dari ujung utara di depan Hotel Inna Garuda hingga ujung selatan, kemudian berbelok ke timur hingga pintu masuk ke Taman Pintar. Akan kita jumpai pada ada perkerasan berukuran duapuluh centimeter kali duapuluh centimeter berwana kuning cerah yang dipasang menerus. ”Ubin” yang dipasang ini memiliki dua macam pola. Yang pertama ubin dengan pola tonjolan berbentuk bulat, dan ubin dengan pola tonjolan berbentuk bulat panjang. Ubin ini bernama guiding blocks.

Selain di Malioboro, guiding blocks seperti ini pun dapat kita jumpai di Kotabaru. Tepatnya berada di trotoar tengah yang menjadi pembatas lajur kiri dan lajur kanan jalan. Guiding blocks ini dipasang sebagai alat bantu bagi kaum difabel, terutama tuna netra, jika sedang berjalan. Kaum difabel adalah golongan orang-orang yang memiliki keterbatasan pada kemampuannya, yang membedakannya dengan orang normal biasa. Dulu kita mengenal istilah penyandang cacat. Namun definisi kaum difabel lebih luas lagi, tidak hanya terbatas pada kaum penyandang cacat. Seorang ibu yang sedang hamil tua, seorang kakek renta pun tergolong kaum difabel.

Bagaimana prinsip kerjanya? Pola bulat panjang menunjukan jalan lurus. Sedangkan pola bulat berarti ada perubahan arah. Baik itu berupa belokan karena di depannya ada halangan, atau berupa percabangan jalan seperti halnya jalan umum.Pemasangan guiding blocks adalah sebagai bentuk apresiasi terhadap kaum difabel (dahulu disebut dengan penyandang cacat), agar dapat menikmati fasilitas publik yang ada di kota.

Sayangnya, dari dua tempat yang dijadikan pilot project ini, tidak termanfaatkan sebagaimana mestinya. Di Kotabaru, ubin dipasang pada trotoar tengah. Masalahnya, siapa yang akan memakainya? Bahkan yang bukan kaum difabel pun jarang kita temui berjalan di trotoar tengah itu. Ditambah lagi ada lampu taman tepat berada di tengah-tengah jalur tersebut. Lampu ini mengganggu akses pejalan kaki karena harus berputar ke kanan atau ke kiri untuk menghindarinya. Kaum normal pun enggan, apalagi kaum difabel.

Di Malioboro, trotoar yang dipasangi guiding blocks, makin lama tertutup dengan banyaknya pedagang dan kendaraan yang diparkir. Bahkan boleh jadi sebagian besar orang tidak menyadari bahwa jalur kuning tersbut diperuntukkan bagi kaum difabel. Karena memang tidak pernah ada kaum difabel yang datang dan menggunakanya. Kecuali pada waktu-waktu tertentu saja, ketika diadakan simulasi mengenai aksesibilitas. Itu pun sangat jarang dilaksanakan.

Akses bagi kaum difabel di sebuah lingkungan, sesungguhnya tidak hanya berupa jalur ubin kuning tersebut. Tangga masuk ke suatu gedung misalnya. Bagi seseorang yang normal, tidak ada masalah ketika menaiki tangga. Namun berbeda halnya dengan seorang kakek renta yang berjalan menggunakan alat bantu berupa tongkat, misalnya. Untuk tangga, dibuatlah ramp. Ramp adalah sebuah bidang miring dengan kemiringan tertentu (lebih landai dari kemiringan tangga). Ramp memberikan kemudahan akses bagi semua orang khususnya aku difabel ketika hendak memasuki tempat yang letaknya lebih tinggi.

Kemudahan akses seperti ini masih sulit kita jumpai di kota ini. Aksesibilitas merupakan salah satu isu besar demi mewujudkan suatu kota yang humanis.

Tidak ada komentar: