Rabu, 17 September 2008

Sosial Enterpreneur

Oleh : Muhammad Reza Ikhwan

“Seribu-seribu, korannya pak. Update!!” teriak loper koran yang menjamuri perempatan-perempatan besar Yogyakarta. Koran “besar” dengan halaman tebal dijual seharga seribu, padahal hari masih pagi. Bukan masalah berapa cost of production koran tersebut, ataupun tetek bengek hidden agenda yang ada dibalik jual murah koran itu. Saya lebih melihat pada aspek peningkatan martabat loper koran yang menjajakannya. Kebanyakan dari mereka awalnya adalah pengamen, pengemis atau pengangguran. Koran ini mampu memberdayakan masyarakat. Bila selama ini jumlah pengamen melimpah disekitar perempatan, sekarang penjaja koran murah ini yang mendominasi. Dulunya, mengemis sekarang beralih menjadi pedagang. Sungguh pekerjaan yang lebih bermartabat.

Kasus ini menandakan bahwa sebenarnya kaum marjinal (baca: pengemis, pengamen) bukanlah kaum yang malas. Ketiadaan kesempatanlah yang menyebabkan mereka terpaksa untuk melakukan pekerjaan tersebut. Medio 2007 lalu, Kompas menampilkan laporan bahwa masyarakat Indonesia bukanlah pemalas. Bila dilihat dari indikator bangun pagi, rata-rata masyarakat Indonesia bangun lebih awal dibanding masyarakat Arab Saudi sekalipun.

Sejatinya menciptakan lapangan pekerjaan bukan semata-mata tugas pemerintah, tetapi
tetap tanggung jawab pengelolaan masyarakat terbesar ada di negara. Pertanyaannya adalah seberapa besar kontribusi rakyat yang harus diberikan? Ketika disisi yang sama rakyat dipajaki untuk penyelenggaraan pemerintahan.

Konsentrasi modal ala paretto, dimana 80% kekayaan dikuasai oleh 20% penduduk menciptakan kesenjangan sosial dikalangan rakyat. Sistem ekonomi yang dianut, regulasi yang diterapkan, will pemerintah dalam melindungi rakyat kecil adalah faktor-faktor yang dapat mendistribusikan kesejahteraan lebih berpihak.

Berlarut-larutnya persoalan lapangan kerja jelas menimbulkan bermacam-macam persoalan. Maraknya tenaga kerja Indonesia yang bekerja diluar negeri, tingkat kejahatan yang makin tinggi, konsentrasi pekerja pada wilayah perkotaan merupakan permasalahan yang kerap timbul.

Menjawab persoalan lapangan kerja, mainstream ekonomi saat ini memberikan solusi sederhana, Investasi. Makin tinggi Investasi, penambahan lapangan pekerjaan akan terjadi. Dengan demikian makin banyak masyarakat yang dapat bekerja. Untuk memperbanyak aliran dana investasi, pemerintah perlu menyiapkan perangkat infrastruktur dan hukum yang detil. Disinilah gap keberpihakan terjadi. Memihak rakyat atau memihak investor. Rumusan kebijakan yang tercipta, bisa dijadikan sebagai parameter apakah pemerintah berpihak untuk rakyat atau tidak.

Menarik apa yang dikatakan oleh Eri Sudewo tentang Social Enterpreneur. Yakni orang-orang yang memiliki jiwa berusaha dan jiwa sosial seimbang. Bila golongan ini makin banyak maka kekayaan akan semakin meninggi dan diikuti dengan pemerataan distribusinya. Memperbanyak jumlah social entrepreneur bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan meningkatkan nasionalisme warga Negara. Bukan nasionalisme yang simbolik, tetapi nasionalisme yang sifatnya substantif. Nasionalisme yang benar-benar lahir dari rasa cinta pada bangsa (baca buku Hans Kohn), nasionalisme yang terejawantahkan dalam bentuk tidak korupsi, bangga terhadap produk dalam negeri, memiliki keinginan berprestasi yang tinggi, bukan sekedar nasionalisme yang diwujudkan sesaat saat bulan Agustus dengan cara memasang sebanyak mungkin bendera dan burung garuda()

Tidak ada komentar: