Selasa, 30 September 2008
Selamat Hari Raya Idul Fitri
Segenap Pengurus Future Leaders Party mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon maaf Lahir dan Batin
Jumat, 19 September 2008
Kongres Kaderisasi FLP
Mengundang Kawan-Kawan Perjuangan untuk Hadir didalam Konggres Kaderisasi FLP,
Hari : Selasa, 23 September 2008
Pukul : 11.00 s.d 13.00
Tempat : Fisipol UGM
Agenda : Pembahasan Alur dan Sistem Kaderisasi FLP
Demikian Undangan ini kami buat, tiada kesan tanpa kehadiranmu
walau panas menghujam/pedih pun menyeruak/jalan perjuangan ini akan tetap kutempuh/Mengapa?/karena surga Tuhan itu MANIS
Tabik,
Wassalam
Hari : Selasa, 23 September 2008
Pukul : 11.00 s.d 13.00
Tempat : Fisipol UGM
Agenda : Pembahasan Alur dan Sistem Kaderisasi FLP
Demikian Undangan ini kami buat, tiada kesan tanpa kehadiranmu
walau panas menghujam/pedih pun menyeruak/jalan perjuangan ini akan tetap kutempuh/Mengapa?/karena surga Tuhan itu MANIS
Tabik,
Wassalam
Rapat Badan Pengurus Harian
Mengundang Rekan Perjuangan dalam Rapat Badan Pengurus Harian (BPH) FLP
Hari : Kamis, 18 September 2008
Waktu : 16.00 s.d 18.45
Tempat : sekretariat FLP (Gg. Nakula No. 5)
Agenda : Pembahasan AD/ART, Sistem Kaderisasi
Demikian Undangan ini, Tiada kesan tanpa kehadiran mu.
walau panas menghujam/pedih pun menyeruak/jalan perjuangan ini akan tetap kutempuh/Mengapa?/karena surga Tuhan itu MANIS.
Tetap BerJUANG dan Berkepala TEGAK.
Wassalam,
Tabik.
Hari : Kamis, 18 September 2008
Waktu : 16.00 s.d 18.45
Tempat : sekretariat FLP (Gg. Nakula No. 5)
Agenda : Pembahasan AD/ART, Sistem Kaderisasi
Demikian Undangan ini, Tiada kesan tanpa kehadiran mu.
walau panas menghujam/pedih pun menyeruak/jalan perjuangan ini akan tetap kutempuh/Mengapa?/karena surga Tuhan itu MANIS.
Tetap BerJUANG dan Berkepala TEGAK.
Wassalam,
Tabik.
Rabu, 17 September 2008
Sosial Enterpreneur
Oleh : Muhammad Reza Ikhwan
“Seribu-seribu, korannya pak. Update!!” teriak loper koran yang menjamuri perempatan-perempatan besar Yogyakarta. Koran “besar” dengan halaman tebal dijual seharga seribu, padahal hari masih pagi. Bukan masalah berapa cost of production koran tersebut, ataupun tetek bengek hidden agenda yang ada dibalik jual murah koran itu. Saya lebih melihat pada aspek peningkatan martabat loper koran yang menjajakannya. Kebanyakan dari mereka awalnya adalah pengamen, pengemis atau pengangguran. Koran ini mampu memberdayakan masyarakat. Bila selama ini jumlah pengamen melimpah disekitar perempatan, sekarang penjaja koran murah ini yang mendominasi. Dulunya, mengemis sekarang beralih menjadi pedagang. Sungguh pekerjaan yang lebih bermartabat.
Kasus ini menandakan bahwa sebenarnya kaum marjinal (baca: pengemis, pengamen) bukanlah kaum yang malas. Ketiadaan kesempatanlah yang menyebabkan mereka terpaksa untuk melakukan pekerjaan tersebut. Medio 2007 lalu, Kompas menampilkan laporan bahwa masyarakat Indonesia bukanlah pemalas. Bila dilihat dari indikator bangun pagi, rata-rata masyarakat Indonesia bangun lebih awal dibanding masyarakat Arab Saudi sekalipun.
Sejatinya menciptakan lapangan pekerjaan bukan semata-mata tugas pemerintah, tetapi
tetap tanggung jawab pengelolaan masyarakat terbesar ada di negara. Pertanyaannya adalah seberapa besar kontribusi rakyat yang harus diberikan? Ketika disisi yang sama rakyat dipajaki untuk penyelenggaraan pemerintahan.
Konsentrasi modal ala paretto, dimana 80% kekayaan dikuasai oleh 20% penduduk menciptakan kesenjangan sosial dikalangan rakyat. Sistem ekonomi yang dianut, regulasi yang diterapkan, will pemerintah dalam melindungi rakyat kecil adalah faktor-faktor yang dapat mendistribusikan kesejahteraan lebih berpihak.
Berlarut-larutnya persoalan lapangan kerja jelas menimbulkan bermacam-macam persoalan. Maraknya tenaga kerja Indonesia yang bekerja diluar negeri, tingkat kejahatan yang makin tinggi, konsentrasi pekerja pada wilayah perkotaan merupakan permasalahan yang kerap timbul.
Menjawab persoalan lapangan kerja, mainstream ekonomi saat ini memberikan solusi sederhana, Investasi. Makin tinggi Investasi, penambahan lapangan pekerjaan akan terjadi. Dengan demikian makin banyak masyarakat yang dapat bekerja. Untuk memperbanyak aliran dana investasi, pemerintah perlu menyiapkan perangkat infrastruktur dan hukum yang detil. Disinilah gap keberpihakan terjadi. Memihak rakyat atau memihak investor. Rumusan kebijakan yang tercipta, bisa dijadikan sebagai parameter apakah pemerintah berpihak untuk rakyat atau tidak.
Menarik apa yang dikatakan oleh Eri Sudewo tentang Social Enterpreneur. Yakni orang-orang yang memiliki jiwa berusaha dan jiwa sosial seimbang. Bila golongan ini makin banyak maka kekayaan akan semakin meninggi dan diikuti dengan pemerataan distribusinya. Memperbanyak jumlah social entrepreneur bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan meningkatkan nasionalisme warga Negara. Bukan nasionalisme yang simbolik, tetapi nasionalisme yang sifatnya substantif. Nasionalisme yang benar-benar lahir dari rasa cinta pada bangsa (baca buku Hans Kohn), nasionalisme yang terejawantahkan dalam bentuk tidak korupsi, bangga terhadap produk dalam negeri, memiliki keinginan berprestasi yang tinggi, bukan sekedar nasionalisme yang diwujudkan sesaat saat bulan Agustus dengan cara memasang sebanyak mungkin bendera dan burung garuda()
“Seribu-seribu, korannya pak. Update!!” teriak loper koran yang menjamuri perempatan-perempatan besar Yogyakarta. Koran “besar” dengan halaman tebal dijual seharga seribu, padahal hari masih pagi. Bukan masalah berapa cost of production koran tersebut, ataupun tetek bengek hidden agenda yang ada dibalik jual murah koran itu. Saya lebih melihat pada aspek peningkatan martabat loper koran yang menjajakannya. Kebanyakan dari mereka awalnya adalah pengamen, pengemis atau pengangguran. Koran ini mampu memberdayakan masyarakat. Bila selama ini jumlah pengamen melimpah disekitar perempatan, sekarang penjaja koran murah ini yang mendominasi. Dulunya, mengemis sekarang beralih menjadi pedagang. Sungguh pekerjaan yang lebih bermartabat.
Kasus ini menandakan bahwa sebenarnya kaum marjinal (baca: pengemis, pengamen) bukanlah kaum yang malas. Ketiadaan kesempatanlah yang menyebabkan mereka terpaksa untuk melakukan pekerjaan tersebut. Medio 2007 lalu, Kompas menampilkan laporan bahwa masyarakat Indonesia bukanlah pemalas. Bila dilihat dari indikator bangun pagi, rata-rata masyarakat Indonesia bangun lebih awal dibanding masyarakat Arab Saudi sekalipun.
Sejatinya menciptakan lapangan pekerjaan bukan semata-mata tugas pemerintah, tetapi
tetap tanggung jawab pengelolaan masyarakat terbesar ada di negara. Pertanyaannya adalah seberapa besar kontribusi rakyat yang harus diberikan? Ketika disisi yang sama rakyat dipajaki untuk penyelenggaraan pemerintahan.
Konsentrasi modal ala paretto, dimana 80% kekayaan dikuasai oleh 20% penduduk menciptakan kesenjangan sosial dikalangan rakyat. Sistem ekonomi yang dianut, regulasi yang diterapkan, will pemerintah dalam melindungi rakyat kecil adalah faktor-faktor yang dapat mendistribusikan kesejahteraan lebih berpihak.
Berlarut-larutnya persoalan lapangan kerja jelas menimbulkan bermacam-macam persoalan. Maraknya tenaga kerja Indonesia yang bekerja diluar negeri, tingkat kejahatan yang makin tinggi, konsentrasi pekerja pada wilayah perkotaan merupakan permasalahan yang kerap timbul.
Menjawab persoalan lapangan kerja, mainstream ekonomi saat ini memberikan solusi sederhana, Investasi. Makin tinggi Investasi, penambahan lapangan pekerjaan akan terjadi. Dengan demikian makin banyak masyarakat yang dapat bekerja. Untuk memperbanyak aliran dana investasi, pemerintah perlu menyiapkan perangkat infrastruktur dan hukum yang detil. Disinilah gap keberpihakan terjadi. Memihak rakyat atau memihak investor. Rumusan kebijakan yang tercipta, bisa dijadikan sebagai parameter apakah pemerintah berpihak untuk rakyat atau tidak.
Menarik apa yang dikatakan oleh Eri Sudewo tentang Social Enterpreneur. Yakni orang-orang yang memiliki jiwa berusaha dan jiwa sosial seimbang. Bila golongan ini makin banyak maka kekayaan akan semakin meninggi dan diikuti dengan pemerataan distribusinya. Memperbanyak jumlah social entrepreneur bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan meningkatkan nasionalisme warga Negara. Bukan nasionalisme yang simbolik, tetapi nasionalisme yang sifatnya substantif. Nasionalisme yang benar-benar lahir dari rasa cinta pada bangsa (baca buku Hans Kohn), nasionalisme yang terejawantahkan dalam bentuk tidak korupsi, bangga terhadap produk dalam negeri, memiliki keinginan berprestasi yang tinggi, bukan sekedar nasionalisme yang diwujudkan sesaat saat bulan Agustus dengan cara memasang sebanyak mungkin bendera dan burung garuda()
Selebritas Politik
Oleh : Prima Agung Saputra (Ketua DPM KM UGM 2007-2008 dari partai FLP)
Pemilihan umum secara langsung memberikan angin segar bagi mereka yang telah dikenal oleh masyarakat luas. Salah satu profesi yang diuntungkan adalah kaum selebritis yang wajahnya seringkali menghiasi layar televisi. Tak pelak,, mereka pun berbondong-bondong alih profesi dari yang sebelumnya seorang artis menjadi politisi.
Hubungan antara artis dan partai politik menjadi saling menguntungkan satu sama lain. Popularitas sang artis dijadikan sebagai magnet untuk menarik masa agar turut memilih partai yang dianaungi artis tersebut. Sebagai ganjarannya, artis diberikan kesempatan untuk tampil menjadi wakil rakyat maupun calon kepala daerah. Simbiosis mutualisme jenis baru yang mulai jamak berlaku dalam kancah politik di negeri ini.
Secara kelembagaan, fungsi partai politik adalah menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Selain itu turut berfungsi sebagai pengkaderan anggota dan memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Partai politik juga mempunyai kedudukan yang sangat besar sebagai satu-satunya kendaraan untuk melanggengkan jalan menuju singgasana anggota dewan dan kepala daerah. Sedangkan langkah lain melalui pencalonan individu belum bisa dilaksanakan.
Timbul kekhawatiran jika artis yang diusung sebagai tokoh politik hanya dijadikan alat untuk meraup banyak suara. Padahal, mayoritas artis tidak memiliki latar belakang bergelut di bidang politik. Dengan kata lain, masih ada banyak orang yang lebih kompeten daripada mereka. Selama mereka popular dan dikenal oleh masyarakat, kompetensi bukanlah persoalan besar. Inilah yang membuat banyak keraguan tentang kiprah para artis dalam kancah politik. Sedangkan fungsi partai politik sangat berat dan kompleks. Salah besar jika fungsi itu harus dijalankan oleh orang-orang yang hanya sekadar mengandalkan popularitas
Selain itu banyak anggapan negatif terhadap selebritis yang terjun ke dunia politik. Mereka dianggap tidak memiliki loyalitas tehadap partainya. Hal ini disebabkan penanaman ideologi bagi artis hanya sebatas di permukaan sehingga mereka seringkali tergoda untuk pindah ke partai lain. Para politisi instan itu juga dianggap telah merusak sistim kaderisasi partai. Dengan popularitasnya, mereka dapat menyingkirkan kader partai yang merintis karir sejak awal.
Melihat kondisi demikian, seharusnya partai politik harus lebih selektif dalam memilih kader partai. Jangan silau terhadap popularitas seseorang. Hal yang paling substansial malah dilupakan. Kompetensi dan integritas harus menjadi landasan kuat dalam memutuskan apakah layak atau tidak menjadi wakil rakyat. Bukan berarti artis tidak boleh berkecimpung di dalam partai politik, hanya saja harus ada proses seleksi yang adil dan seimbang bagi seluruh kader partai. Selama artis tersebut dapat memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan, maka dia layak. Sebaliknya, jika artis itu hanya mengandalkan popularitas, partai harus berani untuk menolak.
Hubungan artis dan partai politik seharusnya bisa menjadi kekuatan yang menghasilkan energi positif. Popularitas sang artis akan lebih diterima oleh masyarakat. Dengan demikian, artis dapat bertindak sebagai penghubung gap antara partai politik dengan masyarakat yang notabene adalah konstituennya. Faktanya, seringkali masyarakat tidak kenal dengan wakil-wakilnya yang berperan sebagai eksekutif maupun legislatif. Dengan demikian, artis memiliki bargaining position yang lebih dibandingkan lainnya. Namun, jangan sampai artis mengkultuskan selebritas politik demi memenuhi hasrat dengan mengesampingkan kepentingan masyarakat.()
Pemilihan umum secara langsung memberikan angin segar bagi mereka yang telah dikenal oleh masyarakat luas. Salah satu profesi yang diuntungkan adalah kaum selebritis yang wajahnya seringkali menghiasi layar televisi. Tak pelak,, mereka pun berbondong-bondong alih profesi dari yang sebelumnya seorang artis menjadi politisi.
Hubungan antara artis dan partai politik menjadi saling menguntungkan satu sama lain. Popularitas sang artis dijadikan sebagai magnet untuk menarik masa agar turut memilih partai yang dianaungi artis tersebut. Sebagai ganjarannya, artis diberikan kesempatan untuk tampil menjadi wakil rakyat maupun calon kepala daerah. Simbiosis mutualisme jenis baru yang mulai jamak berlaku dalam kancah politik di negeri ini.
Secara kelembagaan, fungsi partai politik adalah menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Selain itu turut berfungsi sebagai pengkaderan anggota dan memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Partai politik juga mempunyai kedudukan yang sangat besar sebagai satu-satunya kendaraan untuk melanggengkan jalan menuju singgasana anggota dewan dan kepala daerah. Sedangkan langkah lain melalui pencalonan individu belum bisa dilaksanakan.
Timbul kekhawatiran jika artis yang diusung sebagai tokoh politik hanya dijadikan alat untuk meraup banyak suara. Padahal, mayoritas artis tidak memiliki latar belakang bergelut di bidang politik. Dengan kata lain, masih ada banyak orang yang lebih kompeten daripada mereka. Selama mereka popular dan dikenal oleh masyarakat, kompetensi bukanlah persoalan besar. Inilah yang membuat banyak keraguan tentang kiprah para artis dalam kancah politik. Sedangkan fungsi partai politik sangat berat dan kompleks. Salah besar jika fungsi itu harus dijalankan oleh orang-orang yang hanya sekadar mengandalkan popularitas
Selain itu banyak anggapan negatif terhadap selebritis yang terjun ke dunia politik. Mereka dianggap tidak memiliki loyalitas tehadap partainya. Hal ini disebabkan penanaman ideologi bagi artis hanya sebatas di permukaan sehingga mereka seringkali tergoda untuk pindah ke partai lain. Para politisi instan itu juga dianggap telah merusak sistim kaderisasi partai. Dengan popularitasnya, mereka dapat menyingkirkan kader partai yang merintis karir sejak awal.
Melihat kondisi demikian, seharusnya partai politik harus lebih selektif dalam memilih kader partai. Jangan silau terhadap popularitas seseorang. Hal yang paling substansial malah dilupakan. Kompetensi dan integritas harus menjadi landasan kuat dalam memutuskan apakah layak atau tidak menjadi wakil rakyat. Bukan berarti artis tidak boleh berkecimpung di dalam partai politik, hanya saja harus ada proses seleksi yang adil dan seimbang bagi seluruh kader partai. Selama artis tersebut dapat memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan, maka dia layak. Sebaliknya, jika artis itu hanya mengandalkan popularitas, partai harus berani untuk menolak.
Hubungan artis dan partai politik seharusnya bisa menjadi kekuatan yang menghasilkan energi positif. Popularitas sang artis akan lebih diterima oleh masyarakat. Dengan demikian, artis dapat bertindak sebagai penghubung gap antara partai politik dengan masyarakat yang notabene adalah konstituennya. Faktanya, seringkali masyarakat tidak kenal dengan wakil-wakilnya yang berperan sebagai eksekutif maupun legislatif. Dengan demikian, artis memiliki bargaining position yang lebih dibandingkan lainnya. Namun, jangan sampai artis mengkultuskan selebritas politik demi memenuhi hasrat dengan mengesampingkan kepentingan masyarakat.()
Langganan:
Postingan (Atom)